Selasa, 05 Desember 2017

Prinsip-prinsip Dasar Aqidah Asy’ariyyah


Berikut ini adalah prinsip-prinsip dasar Asy’ariyyah yang merupakan pandangan Imam Abul Hasan Al Asy’ari. Prinsip-prinsip ini disebutkan oleh Prof. Dr. Qahthan Abdurrahman Ad Dauri dalam kitabnya “Al Aqidah Al Islamiyyah Wa Madzahibuha” halaman 183-193. Kitab ini diterbitkan oleh Kitab-Nasyirun Beirut pada tahun 1433H/2012M.
1.       Menetapkan sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah.
Sifat-sifat ini melekat pada Dzat Allah SWT, tidak menyerupai sifat makhluknya dan merupakan sifat yang azali.
2.       Allah merupakan pencipta yang hakiki.
Allah tidak bersekutu dengan sesuatupun dalam penciptaan makhluk. Seluruh perbuatan seseorang adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT. Perbuatan ini merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang (kasb). Karena adanya kemampuan ini, seseorang dibebani hukum syara’ (taklif), sehingga ada balasan pahala dan siksa dari Allah SWT.
3.       Ukuran kebaikan dan keburukan adalah syariat.
Kebaikan merupakan hal-hal yang diperintahkan oleh Allah dan keburukan merupakan hal-hal yang dilarang oleh Allah.
4.       Perbuatan Allah tidak ditanyakan sebab/alasannya.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Anbiya’ ayat 23. “Dia tidak ditanya tentang apa yang Dia perbuat, akan tetapi merekalah yang akan ditanyai.”
5.       Sesuatu yang ada (wujud), sah untuk dilihat.
Allah itu ada (wujud) sehingga sah untuk dilihat. Berdasarkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, orang-orang mukmin akan melihat Allah kelak di akhirat.
6.       Mengenai ayat dan hadits yang seolah-olah menyerupakan Allah dengan Makhluknya, ada dua pendapat :
a.       Tanpa takwil: Allah mempunyai tangan yang melekat pada Dzat-Nya yang Maha Mulia, akan tetapi bukan tangan dalam arti anggota badan seperti tangan makhluk. Tangan-Nya adalah sifat-Nya. Demikian juga tentang wajah-Nya. Tangan dan wajah merupakan sifat yang wajib ditetapkan. Sifat bersemayam/istiwa’ dan turun/nuzul merupakan sifat-Nya. Istiwa’ merupakan perbuatan yang dilakukan-Nya terhadap arsy.
b.       Takwil: Menafsirkan lafal kepada suatu makna yang dikandung oleh lafal itu. Dalam hal ini, tangan ditafsirkan sebagai kekuatan.
Asy’ariyyah/Asya’iroh terbagi dalam dua pendapat ini, ada yang mentakwil dan ada yang tidak.

7.       Iman adalah membenarkan dengan hati.
Adapun menetapkan dengan lisan dan beramal dengan perbuatan merupakan cabang iman. Karena itu, orang yang telah membenarkan dengan hati, dia disebutsebagai mukmin (orang beriman).
8.       Seorang mukmin yang bertauhid tetapi mengerjakan dosa besar, jika meninggal sebelum bertaubat, maka hukumnya diserahkan kepada Allah.
Bisa jadi Allah mengampuninya atau Rasulullah SAW memberikan syafaat kepadanya. Bisa jadi Allah mengadzabnya, setelah itu memasukkannya ke surga. Seorang mukmin tidak akan kekal di neraka. Seorang fasik adalah mukmin dengan keimanannya, akan tetapi fasik karena perbuatan dosanya.
9.       Rasulullah SAW mempunyai syafa’at.
Syafaat Rasulullah SAW, yang diberikan terhadap orang mukmin yang seharusnya disiksa, dikabulkan oleh Allah. Syafaat ini tidak diberikan kepada orang yang tidak diridhoi-Nya.
10.   Tidak mengkafirkan ahli kiblat.
Seseorang yang tetap melaksanakan sholat dengan menghadap ke ka’bah, maka dia adalah seorang muslim yang tidak boleh dikafirkan. Kecuali seseorang yang melakukan dosa besar dengan keyakinan bahwa hal itu halal dan tidak haram, maka dia kafir.
11.   Pengambilan dalil dalam hal aqidah menggunakan naql (dalil) dan akal secara bersamaan.
Akal digunakan untuk membantu memahami dhohir nash, bukan sebagai hakim atas nash.


Artikel lain :
101 Ciri Ahlussunnah wal Jama'ah
Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah  
Tawassul dan Istighotsah yang Syar'i 
Mensucikan Allah dari Arah dan Tempat 
Pentingnya Sanad

1 komentar:

  1. Seikh ulin kapan di posting terjemah minhajuttolibin jilid 2 nya. . ...

    BalasHapus