Para
ulama seperti al-Imam al-Hafizh Taqiyyuddin al-Subki menegaskan bahwa tawassul,
istisyfa’, istighatsah, isti’anah, tajawwuh dan tawajjuh, memiliki makna dan
hakekat yang sama. Mereka mendefinisikan tawassul - dan istilah-istilah lain yang
sama - dengan definisi sebagai berikut:
“Memohon datangnya manfaat (kebaikan) atau
terhindarnya bahaya (keburukan) kepada Allah dengan menyebut nama seorang nabi
atau wali untuk memuliakan (ikram) keduanya”. (Al-Hafizh al-’Abdari, al-Syarh
al-Qawim, hal. 378).
Pengertian Tawassul
:
Tawassul
adalah mengambil perantara makhluk untuk doa kita pada Allah swt (Habib Munzir al
Musawa, Kenalilah Aqidahmu, hal. 33).
Pengertian Istighotsah
:
Istighatsah
adalah memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya. (Habib Munzir al
Musawa, Kenalilah Aqidahmu, hal. 37).
Tawassul yang diperselisihkan (ikhtilaf) :
Tawassul
kepada Allah dengan dzat Nabi Muhammad SAW, salah seorang Nabi yang lain,
malaikat atau orang sholih.
Imam
Ahmad membolehkan tawassul dengan hak Nabi SAW. (Yusuf Qardhawi, Fushul fil
Aqidah bainas Salaf wal Khalaf, hal. 349).
Tawassul yang dilakukan Nabi SAW dengan dirinya dan
para Nabi sebelumnya:
Dalam
biografi Fathimah binti Asad, ibu dari Ali ibn Abi Thalib terdapat
keterangan bahwa ketika ia meninggal, Rasulullah SAW menggali liang lahatnya dengan
tangannya sendiri dan mengeluarkan tanahnya dengan tangannya sendiri. Ketika
selesai beliau masuk dan tidur dalam posisi miring di dalamnya, lalu berkata: “Allah
Dzat yang menghidupkan dan mematikan. Dia hidup tidak akan mati. Ampunilah
ibuku Fathimah binti Asad, ajarilah ia hujjah, lapangkanlah tempat masuknya
dengan kemuliaan Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Karena Engkau adalah Dzat
yang paling penyayang. Rasulullah kemudian mentakbirkan Fathimah 4 kali
dan bersama Abbas dan Abu Bakar Shiddiq RA memasukkannya ke dalam liang lahat.”
HR Thabarani dalam al Kabir dan al Awsath. Dalam sanadnya terdapat Rauh ibn
Sholah yang dikategorikan dapat dipercaya oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim. Hadits
ini mengandung kelemahan. Sedang perawi lain di luar Rouh sesuai dengan
kriteria perawi hadits shahih.
Sebagian
ahli hadits berbeda pendapat menyikapi status Rouh ibn Sholah, salah seorang
perawi hadits di atas. Namun Ibnu Hibban memasukkannya dalam kelompok perawi
tsiqah (dapat dipercaya). Pendapat al-Hakim adalah, “Ia dapat dipercaya.”
Keduanya sama-sama mengkategorikan hadits sebagai shahih. Demikian pula Al
Haitsami dalam Majma’ul Zawaaid. Perawi hadits ini sesuai dengan kriteria
perasi hadits shahih. (Muhammad Alawi al Maliki, Paham-paham Yang Harus
Diluruskan, hal. 100-101, versi pdf.).
Bertawassul dengan Nabi SAW setelah Nabi wafat,
dengan menyebut “Ya Muhammad” :
Dari
Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif, dari pamannya bernama Utsman bin Hunaif, bahwa
ada seorang laki-laki akan menghadap Khalifah Utsman bin ‘Affan untuk suatu
urusan, maka ia pun menemui Utsman bin Hunaif, ia mengadu kepada Utsman bin
Hunaif, Utsman bin Hunaif berkata kepadanya: “Pergilah ke tempat wudhu’,
kemudian berwudhu’lah, kemudian pergilah ke masjid, shalatlah dua rakaat,
kemudian ucapkanlah: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu
berkat nabi-Mu Muhammad Saw nabi pembawa rahmat, ya Muhammad aku
menghadap denganmu kepada Tuhanmu, agar Ia menunaikan hajatku”, kemudian
ucapkanlah hajatmu. Pergilah, agar aku dapat pergi bersamamu”. Maka laki-laki
itu pun pergi, ia melakukan apa yang dikatakan Utsman bin Hunaif. Kemudian ia
datang ke pintu Utsman bin ‘Affan, lalu Utsman mendudukkannya bersamanya di
atas karpet alas duduk, Utsman bin ‘Affan bertanya: “Apakah keperluanmu?”.
Laki-laki itu pun menyebutkan keperluannya, lalu Utsman bin ‘Affan
menunaikannya. Kemudian Utsman bin ‘Affan berkata kepadanya: “Engkau tidak
menyebutkan keperluanmu hingga saat ini. Jika engkau ada keperluan, maka
datanglah kepada kami”. Kemudian laki-laki itu pergi. Lalu ia menemui Utsman
bin Hunaif dan berkata: “Semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepadamu,
sebelumnya Khalifah Utsman bin ‘Affan tidak mau melihat keperluan saya dan
tidak menoleh kepada saya hingga engkau menceritakan tentang saya kepadanya”.
Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, saya tidak pernah menceritakan
tentangmu kepada Khalifah Utsman bin ‘Affan, akan tetapi saya menyaksikan
Rasulullah Saw, seorang yang buta datang kepadanya mengadu kepadanya tentang
penglihatannya yang hilang, maka Rasulullah Saw berkata kepadanya: “Apakah
engkau bersabar?”. Laki-laki buta itu menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada
yang membimbing saya, berat bagi saya”. Rasulullah Saw berkata kepadanya:
“Pergilah engkau ke tempat wudhu’, berwudhu’lah, kemudian shalatlah dua rakaat,
kemudian berdoalah dengan doa ini”. Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah,
tidak berapa lama kami berpisah, tidak berapa lama kami bercerita, hingga
laki-laki buta itu datang kepada kami, seakan-akan ia tidak buta sama sekali”.
Ath-Thabrani
berkata: “Yang meriwayatkan hadits ini adalah Syu’bah dari Abu Ja’far, namanya
Umar bin Yazid, ia seorang periwayat yang Tsiqah (terpercaya), hanya
Utsman bin Umar yang meriwayatkan dari Syu’bah. Abu Abdillah al-Maqdisi
berkata: “Ini hadits shahih”. (Abdul Somad, 37 Masalah Populer, hal. 136-137).
Tawassul dengan Abbas, paman Nabi SAW :
Dari
Anas ra: bahwa Umar bin Khattab ra apabila tertimpa kekeringan dia beristisqa
bersama Abbas bin Abdul Muthallib ra. Dia berdoa: Ya Allah, dulu kami
bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, maka engkau turunkan hujan. Sekarang kami
bertawassul dengan kepada-Mu dengan paman Nabi-Mu, berikanlah kami hujan. Anas
berkata: Maka turunlah hujan. (HR. Bukhori).
Istighotsah kepada Nabi SAW setelah beliau wafat dalam
Tafsir Ibnu Katsir :
Sejumlah ulama —antara lain Syekh
Abu Mansur As-Sabbag di dalam kitabnya Asy-Syamil— mengetengahkan kisah yang
terkenal dari Al-Atabi yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat
kubur Nabi Saw., datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan,
"Assalamu'alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan
kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah berfirman: 'Sesungguhnya
jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun
kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka
menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang' (An-Nisa: 64).
Sekarang aku datang kepadamu,
memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu
(agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku."
Kemudian lelaki Badui tersebut
mengucapkan syair berikut, yaitu:
يَا خَيْرَ مَنْ
دُفِنَتْ بِالْقَاعِ أَعْظُمُهُ ... فَطَابَ مِنْ طِيبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكَمُ
نَفْسِي الْفِدَاءُ
لِقَبْرٍ أَنْتَ سَاكِنُهُ ... فِيهِ الْعَفَافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ
Hai
sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka
menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini.
Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya
terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.
Kemudian lelaki Badui itu pergi,
dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam
tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi Saw., lalu beliau Saw. bersabda,
يَا عُتْبى، الحقْ
الْأَعْرَابِيَّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ له
"Hai Atabi, susullah orang
Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah
memberikan ampunan kepadanya!"
(Tafsir Ibnu Katsir, QS. An Nisa : 64).
Istighotsah kepada Nabi untuk meminta hujan :
Al
Hafidh Abu Bakar Al Baihaqi mengatakan, “ Memberi kabar kepadaku Abu Nashr ibn Qatadah
dan Abu Bakr Al Farisi, keduanya berkata, “Bercerita kepadaku Abu ‘Umar ibn
Mathar, bercerita kepadaku Ibrahim ibn ‘Ali Al Dzuhali, bercerita kepadaku
Yahya ibn Yahya, bercerita kepadaku Abu Mu’awiyah dari A’masy dari Abi Shalih
dari Malik, ia
berkata: “Pada masa khalifah ‘Umar ibn Al Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada Allah karena ummatmu banyak yang meninggal dunia.” Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi,dan berkata: “Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan khabarkan pada penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar: “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar!”. Lelaki itu pun mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. Kata Umar, “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya.” (Dikutip dari Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir, Juz 1 hal. 91 oleh Muhammad Alawi al Maliki pada kitab ‘Paham-paham yang Harus diluruskan’).
berkata: “Pada masa khalifah ‘Umar ibn Al Khaththab penduduk mengalami paceklik, lalu seorang lelaki datang ke kuburan Nabi SAW dan berkata, “Wahai Rasulullah, Mohonkanlah hujan kepada Allah karena ummatmu banyak yang meninggal dunia.” Rasulullah pun datang kepadanya dalam mimpi,dan berkata: “Datangilah Umar, sampaikanlah salam untuknya dariku dan khabarkan pada penduduk bahwa mereka akan diberi hujan, dan katakan pada ‘Umar: “Kamu harus tetap dengan orang yang pintar, orang yang pintar!”. Lelaki itu pun mendatangi Umar menceritakan apa yang dialaminya. Kata Umar, “Ya Tuhanku, saya tidak bermalas-malasan kecuali terhadap sesuatu yang saya tidak mampu mengerjakannya.” (Dikutip dari Bidayah wan Nihayah Ibnu Katsir, Juz 1 hal. 91 oleh Muhammad Alawi al Maliki pada kitab ‘Paham-paham yang Harus diluruskan’).
Ibnu
Abi Syaibah meriwayatkan dengan sanad yang shohih dari Abu Sholih as Samman,
dari Malik ad Dari – seorang bendahara Umar – ia dia berkata: “Pada masa
Umar manusia telah ditimpa kekeringan,
maka seorang laki-laki datang ke kuburan Nabi dan berkata, “Ya Rasulallah,
mintalah hujan untuk umatmu karena mereka telah ditimpa kehancuran!” Lalu Nabi
datang kepada laki-laki tersebut dalam mimpinya, dan dikatakan kepadanya, “Datanglah
kepada Umar!”” Saif meriwayatkan dalam kitab ‘Al Futuh’ bahwa orang yang
bermimpi tersebut adalah Bilal bin Harits al Muzani, salah seorang sahabat.
(Ibnu Hajar al Asqalani, terjemah Fathul Bari, jilid 5 hal 410-411, penerbit
Pustaka Azzam).
Istighotsah pada Nabi setelah wafat agar sembuh dari
kram :
Demikian
pula diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas ra ada seorang yang keram kakinya, lalu
berkata Ibn Abbas ra : “Sebut nama orang yang paling kau cintai..!”, maka berkata
orang itu dengan suara keras: “Muhammad..!”, maka dalam sekejap hilanglah sakit
keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam
Tabrani dengan sanad hasan) dan riwayat ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi
pada Al Adzkar. (Habib Munzir al Musawa, Kenalilah Aqidahmu, hal. 37).
Dari
Mujahid, ia berkata, “Seorang lelaki yang berada dekat Ibnu Abbas mengalami
kram pada kakinya. “Sebutkan nama orang yang paling kamu cintai,” kata Ibnu
Abbas kepadanya. Lalu lelaki itu menyebut nama Muhammad dan akhirnya hilanglah
rasa sakit akibat kram pada kakinya. [Disebutkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam Al
Kalim Al Thayyib pada Al Faslh Al Saabi’ wa Al Arba’in hlm. 161] (Muhammad
Alawi al Maliki, Paham-paham yang Harus diluruskan, hal. 108 versi pdf)
Istighotsah dengan malaikat :
Dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah mempunyai
para malaikat yang bertugas mencatat daun yang jatuh dari pohon. Jika salah
seorang dari kalian mengalami kepincangan di padang pasir maka berserulah:
"Bantulah aku, wahai para hamba Allah."
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya. ((Muhammad Alawi al Maliki, Paham-paham yang Harus diluruskan, hal. 108 versi pdf)
Hadits ini diriwayatkan oleh Al Thabarani dan para perawinya dapat dipercaya. ((Muhammad Alawi al Maliki, Paham-paham yang Harus diluruskan, hal. 108 versi pdf)
Kehidupan Nabi SAW di alam barzakh :
Rasulullah
SAW bersabda: Hidupku lebih baik untuk kalian. Kalian bisa berbicara dan
mendengar pembicaraan. Dan kematianku lebih baik buat kalian. Amal perbuatan
kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan amal baik maka aku memuji Allah
dan bila menemukan amal buruk aku memohonkan ampunan kepada Allah untuk kalian.
Al
Hafid Al ‘Iraqi menyatakan dalam Kitab Al Janaa’izi min Tharhi Al Tatsribi fi
Syarhi Al Taqribi bahwa isnad hadits ini baik.Al Hafidh Al Haitsami dalam
Majma’u Al Zawaaid vol IX hlm 24 menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh
Al Bazzaar dan para perawinya memenuhi kriteria perawi hadits shahih. Al
Suyuthi menilai hadits ini shahih dalam Al Mu’jizatu wa Al Khashaisu. Demikian
pula Al Qasthalani pensyarah kitab Al Bukhari. Dalam Faidlu Al Qadir vol III
hlm 4211, Al Munawi menegaskan bahwa hadits ini shahih. Begitu pula Al Zurqani
dalam syarh Al Mawaahib karya Al Qasthalani, dan Al Syihab Al Khafaaji dalam
syarh Al Syifaa vol I hlm. 122. Begitu pula Al Mala Al Qari dalam syarh Al Syifaa
vol I hlm 122. ia mengatakan hadits ini diriwayatkan pula oleh Al Harits ibnu
Abi Usamah dalam Musnadnya dengan sanad shahih. Ibnu Hajar menyebutkan hadits
ini dalam Al Mathalib Al ‘Aaliyah vol. IV hlm 22. Hadits ini datang dari sumber
lain dengan status mursal dari Bakr ibnu Abdillah Al Muzani. Al Hafidh Isma’il
Al Qadli meriwayatkan hadits ini dalam Juz’u Al Shalat ‘ala Al Nabi Saw. Al
Syaikh Nashiruddin Al Albani menyatakan bahwa status hadits ini mursal shahih.
Al Hafid Abdul Hadi yang keras kepala dan kaku menilai hadits ini shahih dalam
kitabnya Al Sharim Al Munki fi Al Radd ‘ala Al Subki. (Muhammad Alawi al Maliki, Paham-paham Yang
Harus Diluruskan, hal. 233-234 versi pdf).
Sabda
beliau saw : “Tiadalah seseorang bersalam kepadaku, kecuali Allah mengembalikan
ruh ku hingga aku menjawab salamnya” (HR Baihaqiy dalam Sunan Alkubra hadits
no.10.050)
Pendapat ULAMA yang membolehkan tawassul dengan
selain Nabi SAW :
Sesungguhnya
madzhab ahlussunnah wal jama’ah yaitu: bahwa tawassul dengan kemuliaan
Rasulullah SAW dan orang-orang sholih adalah disyariatkan dan boleh. Tidak ada
beda baik mereka masih hidup maupun sudah wafat. Juga bertabarruk (mengambil
berkah) dengan mereka karena mereka itu dicintai oleh Allah SWT. Adapun
manfaat, madharat dan penciptaan hanyalah milik Allah SWT yang Maha Esa dan
tidak ada sekutu bagi-Nya. (Syaikh Ahmad bin Zaini Dahlan, dikutip oleh Prof.
Dr. Qahthan Addauri dalam kitab “Al Aqidah Al Islamiyyah wa Madzahibuha”, hal.
220-221).
PENDAPAT HASAN AL BANNA DALAM USHUL 'ISYRIN
Doa
kepada Allah yang disertai tawassul dengan seseorang dari makhluk adalah
termasuk masalah khilaf furu’ dalam cara berdoa, bukan termasuk masalah aqidah.
(Ushul ke-15)
Artikel lain :
101 Ciri Ahlussunnah wal Jama'ah
Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah
Prinsip-prinsip Dasar Aqidah Asy'ariyyah
Mensucikan Allah dari Arah dan Tempat
Pentingnya Sanad
101 Ciri Ahlussunnah wal Jama'ah
Aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah
Prinsip-prinsip Dasar Aqidah Asy'ariyyah
Mensucikan Allah dari Arah dan Tempat
Pentingnya Sanad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar